Selasa, 05 Februari 2013

Konsumsi Protein Hewani Rendah

Konsumsi protein hewani rata-rata masyarakat di Indonesia rendah. Akibatnya, banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan negara Asia lain.

Direktur Jenderal Bina Gizi Kementerian Kesehatan Minarto mengatakan, angka pemenuhan kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100 persen.

”Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali,” kata Minarto, Selasa (26/6), di Jakarta.

Akibat kurang pemenuhan protein hewani, kata Minarto, prevalensi orang bertubuh pendek dan gizi kurang tinggi. Data Unicef tahun 2009, prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi kurang 18 persen dari jumlah penduduk.

Indonesia kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16 persen dan 7 persen), Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen dan 20 persen).

Minarto mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun 2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen.

Sebesar 40 persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di bawah rata-rata nasional. Daerah itu antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.

Untuk itu, pemerintah pusat menargetkan kenaikan pemenuhan protein hewani menjadi 100 persen tahun 2014. Harapannya, prevalensi orang pendek turun dari 36 persen menjadi 32 persen, dan prevalensi gizi kurang bisa ditekan dari 31 persen menjadi 15 persen.

Langkah yang diambil Kemenkes, antara lain, mengajari masyarakat menggali sumber protein hewani di sekitar mereka. Hal itu misalnya di Kabupaten Tegal, masyarakat bisa mengonsumsi telur karena daerah penghasil telur asin. Contoh lain, mengenalkan konsumsi susu di daerah produksi, seperti Pasuruan, Malang, dan Bandung.

Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan mendukung upaya pemenuhan protein hewani dengan meningkatkan konsumsi susu. Dalam lima tahun, konsumsi susu ditargetkan naik menjadi 22 liter per kapita per tahun, dari 11,7 liter per kapita per tahun.

”Dukungan pendanaan dari APBN disiapkan Rp 2,4 triliun. Hal itu untuk peningkatan populasi sapi secara keseluruhan meliputi sapi pedaging dan sapi perah,” katanya.

From: kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar